Memaknai
Budaya Pop Islam di Masyarakat
Oleh Muhammad Abadi
Sebagai mayoritas di Indonesia, masyarakat Islam
atau Muslim sekarang tidak lagi bangga atas agamanya. Perputaran roda kehidupan
sehari-hari menunjukkan adanya keterkaitan atau hubungan yang bersifat bahwa
agama tidak lagi dijadikan atau sebagai gaya hidup. Gaya hidup adalah kalimat
yang pantas untuk digeneralisir dibandingkan pedoman atau way o life (
pandangan hidup ). Keduanya memang hampir mirip artinya. Gaya hidup atau life
style menunjukkan satu kebanggaan tertentu ( pride ), sedang pada way of life
menunjukkan pemikirannya.
Saat
ini masyarakat kita yang mayoritas Muslim tersebut sudah memasuki gaya dan
pandangan hidupnya cenderung pada humanisme sekuler. Humanisme sekuler
mempercayai bahwa manusia adalah pusat segala-galanya. Mereka lupa tentang
adanya humanisme dalam Islam itu sendiri. Islam memandang humanisme pada posisi
sentral jika berkaitan dengan muamalah, tapi pada tataran selanjutnya humanisme
Islam lebih didominasi hubungan manusia kepada Allah SWT. Keduanya sangat erat
ketika kedua pihak memiliki ketergantungan simbiosis yang ditunjukkan pada
iman, menaati bahwa Allah SWT tidak hilang dari hubungan antar manusia. Dia
aktif dalam setiap aksi sosial kita. Jika hal ini dipahami sekaligus sebagai
gaya hidup masyarakat Muslim kita maka segala apa yang masih menimpa kita akan
dapat kita hindari bersama. Namun, dengan catatan bahwa hubungan sosial kita
dalam masyarakat ( muamalah, sekuler ) dengan melibatkan diri pada kekuatan
Allah SWT, maka harus dibarengi pada peningkatan pendidikan, kecerdasan dan
wawasan dalam agama, ilmu dan ibadah kita sehari-hari.
Sejak
pemerintah memberi kebebasan dalam segala macam pembangunan ekonomi,
infrastruktur dan pendidikan, terjadilah pemenuhan-pemenuhan kebutuhan hidup
yang setiap saat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan sosial ini
mengakibatkan adanya pergeseran nilai di atas, yaitu hubungan kita kepada
Tuhan. Allah SWT tidak lagi sebagai mainstream dalam pola hidup kita. Agama
hanya ditunjukkan pada shalat lima waktu, di luar itu manusia bebas dalam
kaitannya dengan dunia. Pergeseran nilai ini mengakibatkan pula pada
nilai-nilai luhur manusia, seperti kejujuran, kebaikan, kepercayaan dan amar
makruf nahi munkar. Proses hidup seperti ini telah menghilangkan kita pada
sloganisme, pepatah dan kata-kata bijak. Filsafat hidup tidak lagi ditunjukkan
pada sebuah percaturan makna dan prestasi seseorang, melainkan pada rutinitas
pemenuhan ekonomi manusia. Pemahaman filsafat hidup seperti ini adalah keliru.
Proses panjang yang dilalui tidak akan menghasilkan output yang memiliki
maslahat dan kebaikan ukhrowi, melainkan hanya sementara belaka.
Sumber
dari segala sumber permasalahan dalam hal ini adalah ketidakberanian kita
memasuki wilayah filsafat Islam. Ketidakberanian kita dalam pemahaman ini
disebabkan ketidakberanin berpikir kita dalam mengupas wacana filsafat Islam
tersebut. Diyakini, dengan memahami filsafat Islam, masyarakat kita tidak akan
lagi bebas dalam perjudian, kesenangan, korupsi, hedonisme dan
peralatan-peralatan penyakit sosial dalam masyarakat lainnya.
Arah
jarum sejarah-putar kita menunjukkan bahwa filsafat Islam merupakan sumber gaya
hidup yang diyakini bebas dari segala penyakit sosial di atas. Jika hubungan
antara manusia dan Tuhannya diharmonisasikan kembali, maka apa yang dinamakan
kemajuan Islam, insya Allah, akan berangkat dari keterpurukan ini. Kemajuan
budaya Barat yang melulu hedonisme dan materialisme pada hakikatnya akan mudah
mengancam terputusnya hubungan antara manusia dengan Tuhannya tersebut. Budaya
Pop Islam yang saat ini tengah terjadi dalam masyarakat Islam modern harus
dimaknai sebagai penerimaan masyarakat kita dalam segala bentuk kemudahan dan
kemanjaan terhadap kemajuan ( hubbudunya ). Budaya Pop Islam telah tercermin
dalam pemikiran-pemikiran sosial masyarakat seperti terwujudnya kesenangan (
hedonisme ), kapitalisasi dakwah, politik uang, korupsi, massa mengambang,
sekularisasi, merebaknya hyper life style dan sebagainya.
Dalam
segala kepenatan rutinitas hidup kita berharap kepada Allah SWT sebagai Tuhan
dari segala solusi atas masalah yang menimpa kita wajar untuk dihidupkan lagi.
Resiko atas kepercayaan bahwa pengharapan hanya pada Allah SWT, maka yang
mungkin akan terjadi adalah kelemahan kita dalam menjalani kehidupan ini.
Namun, dibarengi dengan kerja keras maka hal itu tidak akan terjadi. Kekuatan
kebergantungan nasib antara manusia dengan Tuhan akan menampakkan hasil jika
adanya kepastian-kepastian dalam menjalani kehidupan ini. Tapi jika terlepas
dari itu, maka yang akan terjadi malah sebaliknya. Adanya ketidakpastian
menyebabkan banyak pelarian-pelarian perilaku masyarakat dalam pemenuhan
kebutuhan ekonomi seperti kejahatan, kemaksiatan, korupsi, judi dan minuman
keras. Solusinya adalah keteguhan dalam membuang segala penyakit di atas
dibarengi polarisasi pada informasi aktual dan pendidikan sejarah kita di
masyarakat. Dengan adanya counter-balik, otokritik ataupun care terhadap apa
yang terjadi di masyarakat kita, dimungkinkan harapan penyesuaian kesadaran
kembali pada nilai-nilai sahaja dan sediakala sebagai makhluk yang memiliki
kausalitas nasib kepada Tuhannya. Namun, selain itu diharap-mungkinkan adanya
dinamisasi, simbiosis-metafisis antara kita dengan sang Pencipta semesta. Tanpa
itu, mengakibatkan kemerosotan moral-metafisisnya sebagai insan kamil ( makhluk
terbaik, best of human being ) ciptaan
yang bersemayam di atas Arsy sana. Semoga! Wallahu alam Bis-shawab!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar