Rabu, 03 Juni 2015



 Memaknai Budaya Pop Islam di Masyarakat
Oleh Muhammad Abadi
            Sebagai mayoritas di Indonesia, masyarakat Islam atau Muslim sekarang tidak lagi bangga atas agamanya. Perputaran roda kehidupan sehari-hari menunjukkan adanya keterkaitan atau hubungan yang bersifat bahwa agama tidak lagi dijadikan atau sebagai gaya hidup. Gaya hidup adalah kalimat yang pantas untuk digeneralisir dibandingkan pedoman atau way o life ( pandangan hidup ). Keduanya memang hampir mirip artinya. Gaya hidup atau life style menunjukkan satu kebanggaan tertentu ( pride ), sedang pada way of life menunjukkan pemikirannya.
            Saat ini masyarakat kita yang mayoritas Muslim tersebut sudah memasuki gaya dan pandangan hidupnya cenderung pada humanisme sekuler. Humanisme sekuler mempercayai bahwa manusia adalah pusat segala-galanya. Mereka lupa tentang adanya humanisme dalam Islam itu sendiri. Islam memandang humanisme pada posisi sentral jika berkaitan dengan muamalah, tapi pada tataran selanjutnya humanisme Islam lebih didominasi hubungan manusia kepada Allah SWT. Keduanya sangat erat ketika kedua pihak memiliki ketergantungan simbiosis yang ditunjukkan pada iman, menaati bahwa Allah SWT tidak hilang dari hubungan antar manusia. Dia aktif dalam setiap aksi sosial kita. Jika hal ini dipahami sekaligus sebagai gaya hidup masyarakat Muslim kita maka segala apa yang masih menimpa kita akan dapat kita hindari bersama. Namun, dengan catatan bahwa hubungan sosial kita dalam masyarakat ( muamalah, sekuler ) dengan melibatkan diri pada kekuatan Allah SWT, maka harus dibarengi pada peningkatan pendidikan, kecerdasan dan wawasan dalam agama, ilmu dan ibadah kita sehari-hari.
            Sejak pemerintah memberi kebebasan dalam segala macam pembangunan ekonomi, infrastruktur dan pendidikan, terjadilah pemenuhan-pemenuhan kebutuhan hidup yang setiap saat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan sosial ini mengakibatkan adanya pergeseran nilai di atas, yaitu hubungan kita kepada Tuhan. Allah SWT tidak lagi sebagai mainstream dalam pola hidup kita. Agama hanya ditunjukkan pada shalat lima waktu, di luar itu manusia bebas dalam kaitannya dengan dunia. Pergeseran nilai ini mengakibatkan pula pada nilai-nilai luhur manusia, seperti kejujuran, kebaikan, kepercayaan dan amar makruf nahi munkar. Proses hidup seperti ini telah menghilangkan kita pada sloganisme, pepatah dan kata-kata bijak. Filsafat hidup tidak lagi ditunjukkan pada sebuah percaturan makna dan prestasi seseorang, melainkan pada rutinitas pemenuhan ekonomi manusia. Pemahaman filsafat hidup seperti ini adalah keliru. Proses panjang yang dilalui tidak akan menghasilkan output yang memiliki maslahat dan kebaikan ukhrowi, melainkan hanya sementara belaka.
            Sumber dari segala sumber permasalahan dalam hal ini adalah ketidakberanian kita memasuki wilayah filsafat Islam. Ketidakberanian kita dalam pemahaman ini disebabkan ketidakberanin berpikir kita dalam mengupas wacana filsafat Islam tersebut. Diyakini, dengan memahami filsafat Islam, masyarakat kita tidak akan lagi bebas dalam perjudian, kesenangan, korupsi, hedonisme dan peralatan-peralatan penyakit sosial dalam masyarakat lainnya.
            Arah jarum sejarah-putar kita menunjukkan bahwa filsafat Islam merupakan sumber gaya hidup yang diyakini bebas dari segala penyakit sosial di atas. Jika hubungan antara manusia dan Tuhannya diharmonisasikan kembali, maka apa yang dinamakan kemajuan Islam, insya Allah, akan berangkat dari keterpurukan ini. Kemajuan budaya Barat yang melulu hedonisme dan materialisme pada hakikatnya akan mudah mengancam terputusnya hubungan antara manusia dengan Tuhannya tersebut. Budaya Pop Islam yang saat ini tengah terjadi dalam masyarakat Islam modern harus dimaknai sebagai penerimaan masyarakat kita dalam segala bentuk kemudahan dan kemanjaan terhadap kemajuan ( hubbudunya ). Budaya Pop Islam telah tercermin dalam pemikiran-pemikiran sosial masyarakat seperti terwujudnya kesenangan ( hedonisme ), kapitalisasi dakwah, politik uang, korupsi, massa mengambang, sekularisasi, merebaknya hyper life style dan sebagainya.
            Dalam segala kepenatan rutinitas hidup kita berharap kepada Allah SWT sebagai Tuhan dari segala solusi atas masalah yang menimpa kita wajar untuk dihidupkan lagi. Resiko atas kepercayaan bahwa pengharapan hanya pada Allah SWT, maka yang mungkin akan terjadi adalah kelemahan kita dalam menjalani kehidupan ini. Namun, dibarengi dengan kerja keras maka hal itu tidak akan terjadi. Kekuatan kebergantungan nasib antara manusia dengan Tuhan akan menampakkan hasil jika adanya kepastian-kepastian dalam menjalani kehidupan ini. Tapi jika terlepas dari itu, maka yang akan terjadi malah sebaliknya. Adanya ketidakpastian menyebabkan banyak pelarian-pelarian perilaku masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi seperti kejahatan, kemaksiatan, korupsi, judi dan minuman keras. Solusinya adalah keteguhan dalam membuang segala penyakit di atas dibarengi polarisasi pada informasi aktual dan pendidikan sejarah kita di masyarakat. Dengan adanya counter-balik, otokritik ataupun care terhadap apa yang terjadi di masyarakat kita, dimungkinkan harapan penyesuaian kesadaran kembali pada nilai-nilai sahaja dan sediakala sebagai makhluk yang memiliki kausalitas nasib kepada Tuhannya. Namun, selain itu diharap-mungkinkan adanya dinamisasi, simbiosis-metafisis antara kita dengan sang Pencipta semesta. Tanpa itu, mengakibatkan kemerosotan moral-metafisisnya sebagai insan kamil ( makhluk terbaik, best of human being )  ciptaan yang bersemayam di atas Arsy sana. Semoga! Wallahu alam Bis-shawab!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar